ROCKER Juga Butuh CINTA ( Chapter 1 )

ROCKER Juga Butuh CINTA ( Chapter 1 )

 

"Mas.... dapat paketan lagi nih...."
"Paketan opo Fan?"
"Embuh iki mas.... dari Gagas Media.... paling yo returan naskah mas.... Ditolak lagi yo..."
"Wes taruhen kamar wae Fan...."
"Owalah.... wes jualan gado-gado ae lho mas.... jadi penulis itu ndak gampang e..."
"Sing penting lak udah usaha... nembak cewek juga gak langsung di terima toh?"
"Yowes lah... tak berangkat kuliah dulu yo mas... owh iyo mas, Bokep e sing kemarin ojo di hapus sek yo... mau tak copy e...."
"??? Ndasmu...!!!!"

Hari itu tepat untuk ke-empat kalinya naskah novel aku di tolak sama penerbit. Kenapa? yo ndak tau aku... mungkin naskah aku terlalu jelek, terlalu tebal, terlalu menguras air mata atau terlalu susah di mengerti karena di ketik dengan bahasa sansekerta.... tapi yo embuh lah rek. mungkin nanti teman-teman bisa lah menilai gitu.

owh iyo aku dari malang nama aku Batitong....nama asli iki... beneran.... bukan nama panggung....sumpah. Aku ini e cuma penulis lepas musiman. Yang cuma nulis pas abis gajian doang. Pas uang gajian udah habis ya ndak nulis lagi. Yo gimana yo.... aku tuh percaya gitu kalau inspirasi terbesar akan datang kalau dompet kita lagi penuh.... Kalau uang wes habis ya gitu lemes lagi nggak punya inspirasi. Jadi Fakir Inspirasi... ahhh wes embuh lah rek...

Setelah melalui beberapa penolakan, akhirnya aku udah sampai di taraf putus asa. Mungkin memang ndak layak terbit. Ndak layar di komersilkan naskah ini. untuk itulah saya mencoba untuk berbagi, Sharing lah gitu maksudnya di SFTH. Semoga bisa menjadi obat susah buang air besar... Mungkin penolakan-penolakan itu membuat aku tuh sadar kalau bakat ku bukan di dunia menulis... mungkin yang lain... nambal ban, nggoreng endog atau ngosek njeding...

Koyok kata temenku...
"Mas... Tenang wae.... aku yakin banget di balik sebuah penolakan, pasti ada penolakan-penolakan berikutnya... Sing sabar..."
"??? Uassuu...!!"





1. Rocker Edan

Malang, kota terbesar ke 2 di jawatimur. Lokasinya yang di kelilingi gunung dan perbukitan membuat kota ini menjadi lebih sejuk dan tenang. Jauh dari segala pencemaran, udara, air dan pencemaran manusia. Maksudnya tingkat kepadatan penduduk di malang masih relative rendah. Tidak sepadat Surabaya atau Jakarta yang dimana setiap kita melangkah selalu bertemu dengan makhluk yang namanya manusia.

Malang diKenal sebagai kota pendidikan, lebih dari 20 universitas tersebar disini. Mau yang kecil sampai besar, D1 sampai S3, ato sekedar universitas penyemarak alias universitas yang tak lebih dari sekedar tempat kursus pun ada disini. Namun dari itu semua, ada 2 universitas negeri yang menjadi tujuan mahasiswa dari seluruh pelosok negeri. Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang, letak keduanya pun berhadapan. Soal kualitas, jangan pernah memandang sebelah mata. Keduanya memiliki kredibilitas tinggi dalam segi pendidikan, dan prospek karier kedepannya.

Satu lagi instansi negeri yang juga bisa dianggap menjadi pilarnya pendidikan kota malang, Politeknik Negeri Malang. Menawarkan jenjang D1-D4, dalam hal teknik dan perniagaan Politeknik Negeri Malang boleh di banggakan. Tapi ada yang aneh, seharusnya kita tak perlu membahas sejauh ini tentang pendidikan kota Malang. Namun hal ini lah yang akan mewarnai awal cerita kita.

Ken atau Kenthus Prawiryasudhirja, 20 tahun,mahasiswa semester 4 fakultas Teknik Elektro Brawijaya. Penampilan lebih mirip preman kampung yang baru masuk kampus. Gelang metal terbuat dari perpaduan besi daur ulang dan karet sisa produksi sandal jepit gak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Jaket lusuh nan kumal yang sudah sejak 2 tahun lalu produksinya dihentikan karena dinilai sudah tak layak publish masih saja menghiasi tubuhnya yang kurus nan proposional. Rambut setengah gondrongnya membuatnya paten sebagai pemuda anti kemapanan, terutama kemapanan soal penampilan. Mandi aja udah untung tuh. Merek deodorant sih hafal, tapi tak satu pun pernah dia gunakan manfaatnya.

Langkahnya begitu ceria, seakan tak ada beban hari itu. Baginya tugas laporan penelitian ala Mr.Shock bukan sesuatu hal patut dipusing kan. Sebagai informasi, Mr Shock adalah julukan familiar untuk dosen bernama lengkap Drs.Pomo Supomo ST , MT. Tuh kan, dari namanya aja mungkin lu bisa ngebayangin bagaimana tampang tuh orang. Perawakan tinggi semampai dengan postur agak kurus dan berkaca mata. Rambutnya yang cepak di sisir mengikuti arah angin, karna tidak bisa di prediksikan hari ini apakah belah pinggir kiri ato kanan.

Julukan Mr. Shock di berikan bukan tanpa alasan, pengumuman kuis yang di berikan 5 menit menjelang kuis itu dilaksanakan. Mungkin satu alasan jelas mengapa beliau layak mendapatkan julukan tersebut. Mr. shock adalah satu dari beberapa dosen yang selalu menjadi point penting dari hari-hari Ken dikampus. Bukan karena Ken anak rajin yang selalu membantu dosen menyampaikan materi ke adik2 angkatan ato yang biasa kita sebut asisten dosen, melainkan defisit nilai Ken dalam mata kuliah yang mereka ajar cukup memusingkan.

Apapun itu tak menjadikan langkah kecil dari telapak kaki berbalut sepatu punk converse tahun 2009 itu berhenti melangkah. Senyumnya terus merekah sepanjang lorong gedung Fakultas Ekonomi. Meskipun bukan gedung dimana dia kuliah namun cuek aja. Hanya sapaan kecil yang kerap di tebarnya kala berpapasan dengan mahasiswi siapa saja, entah Ana, Susi, Deri, Prita, Jovanca, Meri, Alina pokoknya di sapa abis, layak nya playboy cap “senapan angin” yang tidak pernah kehabisan pelor. Selalu aja ada ribuan “serbet dapur” untuk merayu mahasiswi-mahasiswi itu.

Asik berjalan di lorong gedung membuat Ken teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Kejadian yang mungkin akan menjadi peristiwa memalukan dalan hidupnya. Dimana seorang mahasiswa teknik elektro bertampang sangar harus mengepel lantai lorong selama seminggu hanya karena hal bodoh yang jarang di lakukan mahasiswa pada umumnya. Membuat kegaduhan dengan jimbe dekil untuk misi menakluk hati Diana, anak FE 2009. Iya kalo pada saat itu adalah hari-hari normal, sialnya saat itu tengah di lakukan rapat yudisium dosen-dosen Fakultas Ekonomi. Bukan hati Diana yang berhasil di taklukkan, tapi kain pel dan ember karbol lah yang menemani Ken selama seminggu di lorong itu.

Cerita lama, setidaknya saat itu Ken bisa tahu berapa perbandingan komposisi antara karbol dan air agar kerak-kerak di ubin bisa hilang tanpa menjadikan lantai itu licin. Ken adalah anak sulung dari 3 bersaudara, adiknya yang pertama masih bergelut di kelas X di sebuah SMA negeri di Blitar. Dan yang kedua masih mereguk manisnya masa-masa SMP. Ayahnya hanya seorang Seniman pembuat Gerabah yang mengadu peruntungan dari sebuah bengkel kecil di ujung pasar Gede Blitar. Dunia gerabah memang tak begitu mengena di diri Ken, tapi Ken lebih suka pada dunia Teknik. Gen yang lebih dominan adalah gen Musisi. Dalam sejarah nenek moyang Ken, tidak ada kakek buyut nya yang menekuni seni musik. Petani, Masinis kereta, dan seorang juragan tanah. Tidak ada darah seniman, entah dia dapat dari mana darah seni itu. Mungkin dulu dia pernah kecelakaan dan mengalami pendarahan hebat butuh transfusi darah dari PMI. dan bisa disimpulkan darah yang di transfusikan berasal dari donor seorang seniman terKenal, sekelas Piyu, Dewa Bujana, Andra Ramadhan, Ahmad Dhani atau mungkin juga Freddie Mercury. Entah lah, yang jelas darah seni itu membuat Ken kadang bertindak di luar akal sehat.

Ibu Ken adalah seorang ibu rumah tangga yang anggun, banyak petuah-petuah hidup yang Ken dapatkan dari sang ibu, mulai dari nasihat untuk terus menyambung tali silahturahmi hingga wejangan tentang memilih calon istri yang lebih membumi. Membumi? Sampai novel ini di tulis saya belum tahu arti sebenarnya dari kata-kata itu. Maybe anda bisa googling ato sekedar mencari primbon jawa warisan eyang kakung. Sebagai saran, kalo nyari primbon cari yang cetakan pertama karena lebih original dari segi isi dan bahan kertas. ya itu pun kalo belum menjadi fosil.
“Wooii!!…pak de kalo nulis cerita yang bener dunk…ini gimana ceritanya ? nyeritain keluarga malah ngomongin primbon…!!!”
“Iyee…ini saya terusin…wong cuma ngasih tips doang dikit…ini saya terusin…”

Maaf gangguan dikit pembaca, biasa Ken. Bawaannya sensitif tuh orang. Kita kembali ke cerita.
Kakinya terus melangkah sepanjang lorong gedung, hingga dia temukan tulisan “Kantin”. Tempat favorit semua mahasiswa berduit yang kelaparan. Tapi buat Ken kriteria kelaparan saja sudah bisa menjadikan kantin sebagai tempat favorit. Soal duit…kan bisa ngutang. Itulah fungsinya sahabat, versi dia tentunya.

ROCKER Juda Butuh CINTA ( Chapter 2 ) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top